Ruteng, FokusNTT.com- Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) akan segera melaporkan majelis hakim yang mengadili sidang kasus pembunuhan almh Irnakulata Murni ke Bagian Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan Komisis Yudisial (KY).
Demikian rilis Famara Jakarta yang diterima media ini, Rabu (15/10/2025) sore.
Laporan Famara tersebut disampaikan karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (Jaktim) yang diketuai Irwan Hamid, dinilai tidak professional dalam memeriksa dan memutus perkara pembunuhan dengan korban Irnakulata Murni, dimana pelaku bernama Fakhry Firmasyah hanya divonis dua tahun penjara.
Putusan ini dibacakan majelis hakim yang diketuai hakim Irwan Hamid di PN Jaktim, Rabu (15/10/2025).
Sekjen Famara Jakarta Edi Hardum menegaskan, pihaknya akan melaporkan majelis hakim kepada Bagian Pengawas MA dan KY. “Kita minta MA dan KY memberik sanksi hakim-hakim yang tidak professional seperti ini,” tegas Erdi Hardum.
Sekjen Famara Jakarta, Dr. Edi Hardum mengatakan, pihaknya sangat kecewa dengan putusan hakim itu.
Menurut Edi, pihaknya memaknai putusan hakim ini, pertama, majelis hakim memurahkan atau merendahkan jiwa manusia. “Dengan berlindung dari pelaku yang masih anak, tuan hakim memvonis ringan. Tuan hakim tidak memikirkan perasaan orangtua dan keluarga korban. Hakim mengabaikan rasa keadilan,” kata Edi.
Kedua, putusan hakim ini memberikan preseden buruk ke depan bahwa siapa pun yang masih berumur di bawah 18 tahun dengan seenaknya membunuh orang lain terutama perempuan.
Ketiga, hakim tidak prosefesional. “Hakim yang professional selain mempertimbangkan pelaku sebagai anak tentu juga mempertimbangkan keluarga korban dan korban sendiri,” tegas Edi.
Hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwa pelaku tidak mempunyai maksud atau niat membunuh korban, tapi hanya mencegah korban berteriak dengan cara mencekik lehernya yang menyebabkan korban meninggal dunia. Pelaku mencekik korban karena korban berteriak ketika isi handphonenya kedapatan ada foto lelaki lain, pelaku cemburu.
Menurut Edi, pelaku mengecek handphone korban dan memarahi korban serta mencekiknya sudah masuk dalam sebuah niat jahat (mens rea) untuk mematikan korban. Pelaku, kata Edi, tentu tahu bahwa leher itu bagian dari saluran pernapasan. “Pelaku juga tidak berhak membuka handphone korban karena korban bukan istrinya tetapi pacarnya. Tidak ada atau tidak boleh ada pertimbangan pelaku terjadi kegonjangan jiawa yang bisa meringankan perbuatan pidananya. Di sinilah hakim salah,” tegas Edi.
Menurut Edi, majelis hakim ini selalu sidang perkara ini dijalankan mengatakan asas hukum acara pidana yakni asas transparansi. “Di mana kami sebagai kuasa hukum dari keluarga korban tidak diperkenankan mengikuti sidang sejak awal, sementara keluarga dari pelaku diperbolehkan. Ini tidak transparan dan tidak adil. Saya pun menduga lain dengan majelis hakim ini. Kami akan sampaikan dalam laporan kami,” kata pengajar ilmu hukum pidana di Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini.
Edi mengatakan, seharusnya selain keluarga pelaku, keluarga korban atau kuasanya juga diperbolehkan ikut dalam persidangan. “Saya menilai, kami dilarang supaya kami tahu cara hakim menanyakan para saksi dan pelaku. Ini benar-benar salah,” kata Edi.
(*/aka)