Ruteng, FokusNTT- Maraknya pembangunan villa/hotel di Manggarai Barat, NTT, berpotensi besar menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Demikian surat Badan Peduli Taman Nasional Komodo & Perairan Sekitarnya (BPTNKPS) kepada Gubernur NTT tertanggal 5 April 2025.
Melalui surat bernomor: Kb.001/Sek.BPTNK/2025 itu, BPTNKPS menyampaikan keberatan atas oemanfaatan tata ruang pesisir, pulau jecil dan laut di atas Laut perairan di Kabupaten Manggarai Barat.
Adapun BPTNKPS merupakan lembaga yang merepresentasikan para pihak yang peduli atas keberlanjutan pembangunan lingkungan, masyarakat dan kawasan konservasi.
BPTNKPS menyampaikan keberatan yang mendalam atas pembangunan villa/hotel di atas laut yang saat ini telah dan tengah berlangsung di wilayah perairan Kabupaten Manggarai Barat.
“Pembangunan ini (villa/hotel), menurut kami, berpotensi besar
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat,” tulis BPTNKPS yang ditandatangani Pater Marsel Agot SVD, selaku ketua.
BPTNKPS dalam surat itu memaparkan fenomena permasalahan yang terjadi akhir-akhir di kawasan perairan di Manggarai Barat.
Point pertama dalam surat itu, BPTNKPS menegaskan bahwa pembangunan sejumlah villa/hotel di Manggarai Barat telah terjadi pelanggaran sempadan pantai dan oengkaplingan tanah negara.
Diuraikan, pembangunan infrastruktur pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, telah menimbulkan polemik terkait pelanggaran aturan sempadan pantai dan dugaan pengkaplingan tanah negara.
“Kasus-kasus yang mencuat di media nasional, seperti pembangunan vila di atas laut yang menghalangi akses publik ke pantai dan reklamasi laut yang diduga bermasalah dalam perizinan, mencerminkan kurangnya kepatuhan terhadap regulasi tata ruang wilayah pesisir,” tulis BPTNKPS. Ditegaskan, pelanggaran-pelanggaran ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yang diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, serta peraturan pemerintah dan daerah terkait zonasi wilayah pesisir.
Untuk mengatasi masalah ini, lanjut BPTNKPS, diperlukan analisis spasial menggunakan SIG, survei lapangan, dan analisis hukum untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan. “Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) juga penting untuk mengatur zonasi pemanfaatan ruang dengan memperhatikan sempadan pantai dan hakhak masyarakat,” lanjut mereka.
BPTNKPS menandaskan, oemerintah provinsi (NTT) memiliki kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan perlu mengambil tindakan tegas.
Dicontohkan, ada beberapa contoh kasus konkrit yang terjadi di Labuan Bajo tercermin dari pemberitaan sejumlah media nasional terkait isu itu, antara lain:
– Investor Bangun Vila di atas Laut, Warga Labuan Bajo Dilarang Masuk Pantai – sebagaimana diberitakan detikcom.
Pemberitaan media itu menyoroti konflik antara investor dan warga, terkait akses pantai di Labuan Bajo, dimana warga merasa bahwa hak mereka untuk mengakses ruang publik dibatasi.
– Mawatu Resort Reklamasi Laut Labuan Bajo – juga diberitakan media yang sama. Diberitakan bahwa reklamasi laut yang diiakukan oleh sebuah resort di Labuan Bajo, dan adanya masalah perizinan yang tejadi.
Point berikutnya yang ditulis BPTNKPS adalah adanya pencemaran lingkungan laut.
Disampaikan bahwa aktivitas pembangunan vilia dan hotel di atas laut berpotensi besar mencemari lingkungan perairan Labuan Bajo.
Dikatakan, limbah padat dan cair yang dhasilkan dari kegiatan ini dapat merusak ekosistem laut dan mengancam kelangsungan tudup biota laut. Contoh-contoh yang diangkat dalam berita nasional, seperti dampak eksternak atas pembangunan penginapan di sekitar pantai dan pembuangan limbah restoran secara sembarangan, mengilustrasikan risiko pencemaran yang dtimbulkan oleh sektor pariwisata.
Hal ini, kata mereka, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan pemerintah dan menteri terkait baku mutu air laut.
Lembaga menyampaikan, Untuk mengatasi masalah ini diperlukan pengambilan sampel dan analisis kualitas air laut, pemantauan aktivitas pembangunan, dan analisis dampak Ingkungan (AMDAL). KLHS dan RDTR juga penting untuk mengatur zonasi pariwisata dengan memperhatikan daya dukung Ingkungan.
Kepada gubernur NTT mereka menyampaikan bahwa pemerintah provinsi memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pengendalian pencemaran laut.
Beberapa contoh kasus konkrit yang terjadi di Labuan Bajo tercermm dan pembentaan nasional terkait tsu mi, antara lain:
– Dampak Eksternalitas Pembangunan Penginapan di Sekitar Pantai – seperti yang tertulis dalam Kompasiana.
Dalam tulisan itu membahas dampak eksternalitas pembangunan penginapan di sekitar pantai, yang mencakup potensi kerusakan ekosistem laut akibat konstruksi dan limbah.
Meskipun tulisan itu bersifat opini, namun ini membenarkan wawasan tentang risiko lingkungan yang terkait dengan pembangunan pariwisata pesisir.
– Limbah Restoran di Labuan Bajo Dibuang Sembarangan, Cederai Konsep Pariwisata Berkelanjutan, merupakan salah satu headiine KompasTravel yang menyoroti masalah pembuangan limbah restoran yang sembarangan di Labuan Bajo, yang merusak citra pariwisata berkelanjutan di daerah tersebut.
Warga setempat, masih BPTNKPS, mendesak pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk mengambil tindakan tegas terhadap hotel dan restoran yang membuang limbahke sembarang tempat.
Point ketiga yang disampaikan BPTNKPS kepada gubernur NTT adalah terkait kerusakan terumbu jarang.
Disampaikan, keberadaan terumbu karang yang kaya akan keanekaragaman hayati laut di perawan Manggarai Barat terancam oleh aktivitas pembangunan dan operasional villa/hotel.
Reklamasi laut dan ekspansi pariwisata skala besar yang tidak terkendali berpotensi merusak terumbu karang, yang merupakan aset penting bagi sektor parimsata dan perikanan.
Artikel-artikel berita nasional, seperti yang diterbitkan oleh WALHI, menyoroti konflik antara pengembangan pariwisata dan konservasi, serta dampak negatfnya terhadap ekosistem terumbu karang.
Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayat dan Ekosistemnya serta peraturan pemerintah dan menteri terkait perindungan terumbu karang.
Untuk mengatasi masalah ini, tambah BPTNKPS, diperlukan survei bawah air, anaksis citra satelit, dan penektian ekologi. KLHS dan RDTR juga penting untuk mengatur zonasi pariwsata dengan memperhatikan kawasan konservasi terumbu karang. Disampaikan BPTNKPS, Pemeritah Provnsi NTT memiliki kewenangan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan.
Beberapa contoh kasus konkrit yang terjadi di Labuan Bajo tercermin dalam pemberitaan nasional terkait isu ini, antara lain:
– Mawatu Resort Reklamasi Laut Labuan Bajo, seperti diberitakan detikcom.
Berita media itu menyoroti reklamasi laut di Labuan Bajo, yang merupakan salah satu bentuk pembangunan di atas laut. Reklamasi berpotensi merusak ekosistem laut dan menyebabkan pencemaran.
-Menyisir Pulau Flores: Akses Pubiik, Konservasi vs Privatisasi, sebuah artikel yang dikeluarkan oleh WALHI dan menyoroti masalah lingkungan di daerah pesisir Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia, yang menyoroti konflik antara pengembangan pariwisata dan konservasi. Artikel ini menyebutkan bahwa ekspansi panwisata skala besar memungkinkan investor untuk mengambil alih daerah pesisir, membatasi akses publik dan mengurangi ruang bagi nelayan lokal termasuk kerusakan karang-karang indah yang menjadi salah satu daya tank utama serta sumber kehidupan dari masyarakat Flores Barat.
Point berikutnya dari surat BPTNKPS kepada gubernur NTT adalah adanya Pembatasan Ruang Gerak Nelayan dari pembangunan villa/hotel di Manggarai Barat.
Dituliskan, pembangunan infrastruktur pariwisata dan aktvitas kapal wisata yang tdak terkontrol di Labuan Bajo berpotensi mengurangi ruang gerak nelayan dalam mencari nafkah.
Dugaan pencaplokan sempadan pantai oleh hotel dan aktivitas kapal wsata yang merusak ekosistem laut, seperti yang diberitakan di media nasional, mengancam mata pencahanan dan stabilitas sosial ekonomi masyarakat pesisw.
Menurut BPTNKPS, Hal inin bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perindungan dan Pemberdayaan Nelayan serta peraturan daerah terkait zonasi perikanan tangkap.
“Untuk mengatasi masalah im, diperlukan survei sosial ekonomi, pemetaan wiayah penangkapan ikan tradisional, dan analisis konflik. KLHS dan ROTR juga penting untuk mengatur zonasi aktivitas penkanan tangkap,” tulis BPTNKPS tentang nasib nelayan di Manggarai Barat.
Pemerintah provinsi NTT, harap BPTNKPS, memiiki kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan aktivitas perikanan.
BPTNKPS memberi contoh kasus ini seperti diberitakan media nasional antara lain:
-Ruang Gerak Nelayan Dibatasi. Hotel JW Marnot Labuan Bajo Diduga Caplok Sempadan Pantai – diberitakan Pos Bali yang membahas tentang dugaan hotel yang mencapiok sempadan pantai, yang mengak batkan ruang gerak nelayan menjadi terbatas.
– Kapal Wisata Tak Terkontrol Bikin Pemanfaatan Ruang Laut Jadi Berkurang, merupakan beruta yang dikeluarkan KompasTravei yang menyoroti pemanfaatan ruang laut di Labuan Bajo yang tidak terkontrol akibat banyaknya kapal wisata.
Dalam berita itu Bupati Manggarai Barat, Edistamus Endi, menyatakan bahwa aktivitas kapal wisata mempengaruhi mata pencahanan nelayan dan merusak ekosistem laut, terutama terumbu karang. Selain itu arikel ini juga menekankan dampak aktrvitas kepariwisataan terhadap kegiatan para nelayan mencan nafkah.
Di akhir surat, BPTNKPS mengharapkan perhatian serius dari Bapak Gubernur terhadap permasalahan ini.
Kami memohon agar pemerintah provinsi NTT dapat mengambil tindakan tegas dan penegakan hukum sesuai dengan tata ruang perairan dan menghentikan pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
Penulis: aka