Ruteng, FokusNTT.com- Satgas Wilayah NTT Densus 88 Anti Teror terus berupaya menjaga generasi muda dari paparan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di era digital terus digencarkan di Nusa Tenggara Timur.
Pada Jumat (31/10/2025) lalu, Tim Pencegahan Satgaswil NTT Densus 88 Antiteror Polri hadir di SMA Negeri 02 Lembor Selatan untuk memberikan pembekalan mengenai literasi kebangsaan dan keamanan digital kepada ratusan pelajar.
Kegiatan ini melibatkan 334 siswa dan 47 guru, serta dihadiri Babinkamtibmas Polsek Lembor dan jajaran sekolah sebagai bentuk kolaborasi dalam upaya pencegahan dini. Agenda dimulai dengan upacara bendera sebagai simbol penguatan nasionalisme, kemudian dilanjutkan pemaparan materi mengenai ketahanan ideologi, mental, sosial, dan digital.
Iptu Silvester Guntur dari Tim Pencegahan Satgaswil NTT, yang bertindak sebagai pembina upacara sekaligus narasumber utama, menegaskan adanya perubahan bentuk ancaman di era digital.
“Era digital membawa kesempatan, tetapi juga ancaman. Hoaks, ujaran kebencian, propaganda kekerasan, hingga krisis identitas mudah menggerogoti pelajar jika tidak punya ketahanan diri,” ujarnya.
Silvester menyebut pelajar sebagai salah satu kelompok paling rentan, bukan hanya mereka yang termarginalkan, tetapi juga yang aktif dan berprestasi.
“Radikalisme tidak dimulai dari bom. Ia dimulai dari komentar kebencian, konten yang merendahkan, dan candaan yang menormalisasi kekerasan,” tegasnya.
Kepala SMA Negeri 02 Lembor Selatan, Kolekta Rueng, menyampaikan apresiasi atas kegiatan tersebut.
“Kegiatan ini sangat penting dalam membentuk karakter siswa agar menjadi generasi yang berdaya saing dan jauh dari pengaruh negatif,” ujarnya.
Sebelum memasuki materi inti, Aipda I Gusti Komang Setiawan selaku Babinkamtibmas Polsek Lembor memberikan paparan situasi kamtibmas di wilayah Lembor Selatan. Ia menyoroti masih adanya kenakalan remaja yang dipicu konsumsi minuman keras.
“Hal kecil yang dibiarkan bisa membawa masa depan pelajar ke arah buruk. Kami mendukung penuh program Densus 88 di sekolah untuk pencegahan sejak dini,” katanya.
Dalam sesi inti, Silvester memaparkan fenomena penyimpangan perilaku digital yang menjadi pintu masuk kontrol mental dan ideologi. Ia memaparkan data nasional dan regional mengenai peningkatan kasus kekerasan seksual daring, kekerasan terhadap anak, hingga judi online yang melibatkan remaja.
“Polanya sama: menyasar kelemahan mental, kebutuhan diterima, dan rasa ingin dicintai,” jelasnya.
Ia juga menyinggung ancaman pornografi, sexting, cyber-grooming, hingga tantangan berbahaya di media sosial sebagai bagian “perang psikologis modern’.
“Sekali kalian buka ponsel, jutaan pesan masuk. Tidak semua untuk kebaikan kalian,” ucapnya.
Silvester kemudian menyampaikan empat pilar ketahanan pelajar: ideologi berdasarkan Pancasila, mental yang stabil, sikap sosial toleran, dan kemampuan bermedia digital secara bijak.
Sesi berlangsung interaktif. Seorang siswa, Fransisco Alvaro Degotinto, bertanya mengenai batas kebebasan digital. Silvester menegaskan:
“Kebebasan berekspresi dijamin konstitusi. Tetapi kebebasan harus bertanggung jawab dan taat aturan, termasuk UU ITE.”
Menutup kegiatan, ia berpesan penuh motivasi:
“Remaja tangguh bukan yang tidak pernah jatuh, tetapi yang bangkit dengan nilai benar. Jangan biarkan jari dan pikiran kalian dikendalikan kebencian atau hawa nafsu.”
Acara ditutup dengan sesi foto bersama, berlangsung tertib dan penuh antusiasme.***







