Ruteng, FokusNTT.com- Vikjen Keuskupan Ruteng, Pater Sebastian Hobahana Pala, SVD. mengatakan, politik merupakan ladang apostolate bagi awam Katolik.
Hal itu disampaikan Pater Sebastian saat membawakan materi pada retret Forkoma PMKRI se daratan Flores dan Lembata yang berlangsung di stadion Golo Dukal, Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Pater Sebastian membawakan materi dengan judul Solidaritas Pembangunan Gereja dan Masyarakat.
“Politik merupakan ladang apostolate bagi awam katolik,” ungkap Pater Sebastian.
Selain soal peran awam, Pater Sebastian menambahkan soal peran klerus yang mempunyai panggilan untuk membentuk ‘politikus katolik/kristiani’ seraya memberi catatan bahwa politikus katolik/Kristiani tidak identic dengan politikus yang kebetulan beragama Katolik.
Lebih lanjut dikatakan, panggilan menjadi politikus katolik itu tidak gampang, karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, membela aspirasi umat katolik dan menempatkannya dalam tatanan aspirasi umum dimana spiritual capital-nya harus kuat;
Kedua, membawa ajaran-ajaran sosial gereja sebagai solusi bagi berbagai masalah kebangsaan/kemasyarakatan;
Ketiga, beran memperjuangkan keadilan sosial.
Pater Sebastian juga menyentil solidaritas awam katolik khususnya alumni PMKRI yang tergabung Forum Komunikasi Alumni (Forkoma) terkait solidaritas yang disebutnya mandatum novum solidaritas.
Dia mencontohkan solidaritas dalam kearifan lokal budaya Manggarai.
Kata dia, kearifan lokal orang Manggarai telah mengenal prinsip-prinsip kehidupan komunal beo termasuk praktek solidaritas.
Dia jelaskan, dalam kehidupan orang Manggarai, ada tiga fungsi utama beo atau dalam tataran lebih tinggi ‘ulayat’, yaitu :
Pertama: menjamin keamanan warga beo; kedua: menjamin kebebasan warga Beo dalam keterikatan kolektivitas Beo; ketiga: menjamin kesejahteraan warga beo di mana beo berstatus residual. “Setiap kegagalan individu diam alih oleh kolektivitas Beo. Kearifan semacam ini tentu ada juga dalam wilayah lain di NTT,” ungkapnya.
Namun, kata dia, proses modernisasi ikut membuat tatanan kehidupan Beo makin surut dan memud
sementara wadah bagi penjaminan kesejahteraan komunal belum ada. “Setiap keluarga ‘terpaksa’ hanya mengusahakan kesejahteraan keluarganya sendiri. Dalam konteks semacam ini, kita perlu nandatum novum solidaritatis atau secara sederhana kita butuh solidaritas dalam konteks.
Dia menambahkan, solidaritas adalah kesaksian Injili dan merupakan pengungkapan yang penting. Kunci menuju solidaritas adalah partisipasi. Dia menyatakan, partisipasi bukan pertama-tama soal memberi bantuan kemanusiaan dalam pelbagai kasus kemanusiaan- itu tentu penting. “Tetapi sebetulnya solidaritas itu jauh lebih radikal lagi yakni peran serta yang rendah hati dan penuh cinta dalam kehidupan orang lain, berbagi hidup dengan orang lain. Mari kita mulai lagi untuk berbagi!,” imbuh dia.
Dengan berbuat demikian, lanjutnya, kita akan mengalami sukacita Injili berbagi hidup dengan umat (Masyarakat) yang setia pada Allah (tidak meninggalkan Allah), sambil berusaha menyalakan api di dalam hati dunia. “Setiap pribadi adalah satu misi di dunia,” demikian Pater Sebastian Hobahana Pala.
Penulis: aka








