Ruteng, FokusNTT- Pegiat masalah sosial di Manggarai Barat, Lorens Logam menilai para penolak geothermal di Flores bersikap standar ganda dalam menghadapi isu krisis ekologi yang sedang terjadi di Pulau Flores.
Demikian Lorens Logam yang dihubungi media ini, terkait persoalan ekologis yang terjadi akhir-akhir ini di Pulau Flores, Sabtu (12/4/2025) lalu.
Bahkan dia menyoroti secara khusus sikap para uskup se regio Ende yang menolak geothermal di Pulau Flores yang mengatakan bahwa pengembangan geothermal akan memgancam ekosistem alam di pulau tersebut.
Lorens membandingkan sikap para uskup tersebut dengan kondisi yang terjadi di Manggarai Barat terkait isu yang sama.
Dia mengatakan, yang terjadi di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, gereja bermitra dengan perusahan swasta membangun hotel di Labuan Bajo. “Dan hari ini hotel tersebut mengancam kerusakan ekosistem laut, ruang terbuka hijau dan memprivatisasi ruang publik,” ungkap Lorens.
Dia menambahkan, selain hotel yang bermitra dengan KWI, ada begitu banyak resort/hotel yang melakukan pengkaplingan laut, membatasi ruang publik dan merusak ruang terbuka hijau. “Ekosistem yang kita jaga selama ini dibancak untuk dikapitalisasi. Dari sisi ini saya melihat ada sikap inkonsistensi dari gereja untuk menyikapi semua persoalan yang merujuk pada ancaman krisis ekologis,” tandasnya.
“Kita tunggu gereja bersuara untuk menyikapi hal ini, ternyata tidak ada bersuara juga alias bungkam. Inikan sudah tidak kredibel lagi. Terkesan memilah dan memilih kasus, mana yang menguntungkan mereka bersuara, mana yang tidak menguntungkan, iya diam,” lanjut Lorens.
Penilaian yang sama sebelumnya disampaikan oleh praktisi hukum yang juga Ketua Pusat Bantuan Hukum DPC PERADI Ruteng, Siprianus Ngganggu.
“Para Uskup sepertinya masih sibuk dengan urusan penolakan Geothermal dan konsentrasi omong tentang ekologi di daratan,” kata Siprianus.
Siprianus melanjutkan, para Uskup tidak tertarik dengan isu kerusakan ekosistem alam di seperti daerah sepadan pantai, penguasaan kawasan laut dan pesisir.
“Hilangnya ruang publik di pantai, hilangnya kawasan laut bagi Nelayan Kecil yang menggunakan sampan kecil untuk menangkap ikan untuk menafkahi keluarganya, para Uskup kita sepertinya tidak tertarik,” ungkap Siprianus.
Kerusakan ekosistem alam di Manggarai Barat telah disoroti oleh BPTNKPS Manggarai Barat. Kerusakan tersebut karena ada pembangunan villa/hotel demi kepentingan pariwisata di Labuan Bajo.
Adapun BPTNKPS merupakan lembaga yang merepresentasikan para pihak yang peduli atas keberlanjutan pembangunan lingkungan, masyarakat dan kawasan konservasi.
BPTNKPS Manggarai Barat itu diketuai Pater Marsel Agot SVD, salah seorang pastor di Manggarai Barat.
Dalam surat ke gubernur NTT, BPTNKPS menyoroti salah satu hotel milik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Labuan Bajo.
Hotel JW. Marriott memiliki resort mewah di Labuan Bajo dengan nama The Luxury Collection Labuan Bajo.
Informasi yang dihimpun media ini menyebutkan, The Luxury Collection Labuan Bajo berdiri di atas lahan seluas 34.000 M2 dan seluas 15.000 M2 bangunannya berdiri di atas laut. Sisa dari luas tersebut, The Luxury Collection yang terletak di Binongko, berdiri di sempadan pantai.
BPTNKPS menyebut, The Luxury Collection telah membatasi ruang gerak nelayan.
Sorotan BPTNKPS yang salah satunya terhadap keberadaan The Luxury Collection Labuan Bajo milik KWI, berhadapan dengan sikap Enam Uskup di Provinsi Gerejawi Ende.
Melalui surat gembala yang diteken enam uskup se regio Ende itu menulis surat gembala, menolak kehadiran proyek geothermal di daratan Flores dan Lembata.
Surat ini merupakan hasil sidang tahunan para uskup, pada 10-13 Maret 2025.
Para uskup menilai, proyek ini akan merusak ekosistem alam di Pulau Flores dan Lembata.
Penulis: aka