Kebijakan Pemerintah Pusat Dinilai Telah Mengebiri Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat di Desa

Kuliah umum terbuka dengan topik "Transformasi Desa dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Kedaulatan Rakyat" yang digelar di STPM APMD Yogyakarta, Sabtu (14/3). Foto: ist.

Ruteng, FokusNTT- Sejumlah pakar mengatakan bahwa berbagai kebijakan pemerintah pusat telah menngebiri kedaulatan dan kesejahteraan rakyat di desa.

Adapun hal tersebut, kata sejumlah pakar, dilakukan melalui berbagai kebijakan sejumlah kementerian sektoral atas penggunaan dana desa.

Bacaan Lainnya

Demikian yang terungkap dalam kuliah umum terbuka dengan topik “Transformasi Desa dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Kedaulatan Rakyat”, yang dilaksanakan di Yogyakarta, Sabtu (15/3/2025) kemarin yang rilisnya diterima media ini, Minggu (16/3) sore.

Kegiatan sekaligus buka puasa bersama itu dilaksanakan oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan The Indonesian Power for Democracy (IPD). Kuliah umum ini berangkat dari kenyataan bahwa Desa telah mengalami transformasi di bawah UU No.6 Tahun 2014 yang kemudian di revisi menjadi UU No.3 Tahun 2024. Namun, transformasi tersebut belum sepenuhnya menghantarkan desa ke pintu gerbang kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Terdapat banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang mengebiri kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, seperti kebijakan penggunaan dana desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Stunting dan sebagainya, yang membuat desa menjadi kurang berwenang dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Kuliah umum ini menghadirkan pidato pembukaan dari Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Dr. Sutoro Eko Yunanto yang menyampaikan materi terkait: “Transformasi Kemandirian Dan Kedaulatan Desa”.

Dalam pemaparannya, Sutoro Eko menyampaikan dua cara pandang dalam memandang desa yang saling kontradiksi. Pertama, cara pandang esensialisme yang memandang desa sebagai situs keaslian bagi negara bangsa-modern. “Sebagai situs keaslian, desa menyimpan dan memberi nilai-nilai yang merupakan tradisi agung untuk memberikan inspirasi dalam pembentukan negara-bangsa,” papar Sutoro Eko.

Sementara esensialisme, lanjut Sutoro Eko, memandang desa memberi nilai dan kultur yang akan membentuk sikap politik, baik para pemimpin maupun masyarakat dalam memandang dunia maupun memandang negara bangsa modern yang dibentuk.

Lanjut dia, cara pandang yang kedua adalah modernisme yang memandang desa sebagai situs yang kolot, jadul, kuno, miskin, bodoh dan terbelakang.

“Akibatnya desa terus menerus digempur dengan modernisasi dan pembangunan-pembangunan yang diklaim membawa pertumbuhan dan kemajuan bagi desa. Realitasnya, desa diperkosa, diperalat dan diseret menjadi semakin tidak berdaya dan berdaulat atas dirinya sendiri,” urainya.

Sutoro juga menyampaikan kegagalan negara memberdayakan dan memajukan desa karena birokratisasi dan teknokratisasi yang begitu rigid mengepung desa dengan berbagai macam program lintas sektoral yang membatasi kewenangan pemerintah desa.

“Ketika pemerintah desa gagal menjalankan program, desa dituding tidak punya kapasitas, SDM rendah dan sebagainya. Negara membangun sambil merusak, memajukan sambil melemahkan desa. Inilah yang saya sebut sebagai kontradiksi,” katanya.

Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Luky Agung Yusgiantoro, B.Sc,.M.Sc,.Ph.D yang diwakili oleh Sekjen ISKA Dr. Ch. Arie Sulistiono. Dr. Ch. Arie Sulistiono, menyampaikan pidato pembukaan dengan materi: “Kontribusi dan Partisipasi Sarjana Katolik Dalam Memperkuat Kedaulatan dan Kemandirian Desa”.

Ketua ISKA melalui Sekjennya mengatakan, desa merupakan pintu gerbang untuk mencapai kedaulatan dan kesejahteraan negara.

“Kalau desa tidak berdaulat dan tidak sejahtera, maka itu juga menjadi ukuran negara. Negara melalui pemerintah, mesti terus didorong untuk meningkatkan keberpihakan terhadap desa, terutama untuk memperkuat kewenangan dan kemandirian desa,” ungkap Sekjen ISKA Arie Sulistiono.

Karena itu, dia menyambut baik kegiatan kolaborasi bersama STPMD ‘APMD’ untuk mengupayakan desa yang lebih berdaulat dan bermartabat. Sebagai bentuk keterlibatan orang Katolik dalam pembangunan negara, kata dia, ISKA berkomitmen memperkuat desa, karena ketika desa kuat negara akan maju dan berkembang.

“Tidak akan ada negara maju dan berkembang kalau desanya belum adil, makmur dan sejahtera,” ungkapnya.

Sekjen ISKA menegaskan, Ketua Umum ISKA menyetujui kerjasama lanjutan dalam bentuk penerbitan buku Kajian tentang Desa.

Setelah pidato pembukaan dilanjutkan dengan sesi kuliah umum yang diisi oleh Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A dari Fisipol UGM dengan materi “Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat Untuk Siapa?”

Prof Purwo Santoso mengatakan, kita selalu keliru dalam memandang bahwa pembangunan desa seakan-akan merupakan jerih payah pemerintah pusat, tidak dipahami bahwa pembangunan merupakan bagian dari jerih payah rakyat yang diorkestari oleh pemerintah.

“Dengan cara pandang ini, kita pun melihat bahwa kedaulatan dan kesejahteraan rakyat merupakan jerih payah pemerintah bukan jerih payah rakyat. Karena kedaulatan dan kesejahteraan dianggap sebagai usaha pemerintah dalam mewujudkannya, maka rakyat sering sekali dijadikan obyek. Rakyat tidak menjadi berdaulat, karena sering dijadikan proyek pemerintah,” ungkap Prof. Purwo Santoso.

Materi kuliah umum lainnya dibawakan oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman dengan materi “Transformasi Desa Menghadapi Perubahan Kebijakan Pemerintah”.

Herman N. Suparman mengatakan, desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kata dia, desa perlu berkembang menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menjadi tonggakan negara dalam mengukur keberhasilan.

Namun, KPPOD melihat bahwa desa masih dijadikan obyek bagi pemerintah dalam menyelenggarakan negara.

Menurut KPPOD, ide menghadirkan Koperasi Merah Putih misalnya, justru menempatkan desa sebagai obyek yang tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Kuliah umum tersebut juga menampilkan Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD APMD Dr. Gregorius Sahdan, M.A.

Materi yang dibawakan oleh Gregorius Sahdan adalah ‘Desa Dalam Kepungan Negara”.

Dia menyampaikan, kita perlu melihat desa dari perspektif rakyat jelata, bukan dari perspektif elite.

Dari perspektif rakyat, desa selalu dijadikan anak tiri republik, jadi korban kebijakan pemerintah, dianggap bodoh, tidak mampu dan bahkan disingkirkan dalam proses kebijakan publik.

“Sejarah republik sebenarnya adalah sejarah kontribusi desa. Ada negara karena ada desa,” ungkap Gregorius Sahdan.

Namun pemerintah kata dia, dengan berbagai kebijakannya kerap mengabaikan desa dan menganggap desa tidak memiliki kewenangan.

Dia menandaskan, lima tahun terakhir pemerintahan Jokowi, desa kerap dijadikan sebagai korban kebijakan kementerian sektoral yang menyedot dan mengambil dana desa.

Gregorius Sahdan menyebutkan sejumlah kebijakan yang dimaksud yaitu kebijakan stunting dari Kementerian Kesehatan, BLT Dana Desa dari Kementerian Sosial, SDGs dari Bappenas, Ketahanan Pangan dari Kementerian Pertanian, Pendidikan Berkualitas dari Kementrian Pendidikan.

Hadirnya kebijakan sektoral kementerian tersebut menyebabkan Musyawarah Desa (Mudes) hanya sekedar formalitas untuk menyetujui program kementerian sektoral yang telah membagi habis penggunaan dana desa untuk membiayai berbagai program tersebut.

Gregorius juga senada dengan KPPOD terkait Koperasi Masuk Desa.

Kata dia, desa juga tengah dikepung oleh Koperasi Masuk Desa yang rencananya juga diambil dari dana desa.

“Karena itu, masalah air bersih, listrik desa, dan sebagainya kerap diabaikan demi memuluskan program kementerian sektoral ini,” tegasnya.

Anehnya, masih menurut Gregorius, Menteri Desa melalui Peraturan Penggunaan Dana Desa, memberikan jalan mulus bagi pelaksanaan program kementerian sektoral ini.

Adapun tujuan kuliah umum ini adalah meningkatkan partisipasi dan kontribusi multipihak dalam memperkuat kapasitas Desa.

Kuliah umum tersebut berlangsung dari pukul 15.00-18.WIB di Ruang M.Soetopo STPMD APMD, dihadiri oleh hampir 200 peserta pegiat desa, aktivis desa, dosen dan mahasiswa.

Penulis: A. Apri K

Pos terkait