Pelaku Pembunuhan Almh Irnakulata Dihukum Ringan, Famara Menilai Hakim Merendahkan Nyawa Manusia

Anggota Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) Jakarta.

Jakarta, FokusNTT.com- Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) Jakarta menilai, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (Jaktim) tidak professional dalam memeriksa dan memutus perkara pembunuhan dengan korban Irnakulata Murni, Adapun sidang pembunuhan perempuan asal Manggarai dengan pelaku Fakhry Firmasyah di PN Jaktim dipimpin oleh Irwan Hamid.

Fakhry Firmansyah pelaku pembunuhan terhadap Almh Irnakulata Murni hanya divonis dua tahun penjara pada sidang putusan yang dibacakan majelis hakim pada Rabu (15/10/2025).

Bacaan Lainnya

Putusan hakim ini jauh di bawah tuntan jaksa penuntut umum yang menuntut hakim agar menghukum pelaku dengan empat tahun penjara.

Sekjen Famara Jakarta, Dr. Edi Hardum mengatakan, pihaknya sangat kecewa dengan putusan hakim itu.

Menurut Edi, pihaknya memaknai putusan hakim ini, pertama, majelis hakim memurahkan atau merendahkan jiwa manusia.

“Dengan berlindung dari pelaku yang masih anak, tuan hakim memvonis ringan. Tuan hakim tidak memikirkan perasaan orangtua dan keluarga korban. Hakim mengabaikan rasa keadilan,” kata Edi.

Kedua, putusan hakim ini memberikan preseden buruk ke depan bahwa siapa pun yang masih berumur di bawah 18 tahun dengan seenaknya membunuh orang lain terutama perempuan.

Ketiga, hakim tidak prosefesional. “Hakim yang professional selain mempertimbangkan pelaku sebagai anak tentu juga mempertimbangkan keluarga korban dan korban sendiri,” tegas Edi.

Hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwa pelaku tidak mempunyai maksud atau niat membunuh korban, tapi hanya mencegah korban berteriak dengan cara mencekik lehernya yang menyebabkan korban meninggal dunia. Pelaku mencekik korban karena korban berteriak ketika isi handphonenya kedapatan ada foto lelaki lain, pelaku cemburu.

Menurut Edi, pelaku mengecek handphone korban dan memarahi korban serta mencekiknya sudah masuk dalam sebuah niat jahat (mens rea) untuk mematikan korban. Pelaku, kata Edi, tentu tahu bahwa leher itu bagian dari saluran pernapasan. “Pelaku juga tidak berhak membuka handphone korban karena korban bukan istrinya tetapi pacarnya. Tidak ada atau tidak boleh ada pertimbangan pelaku terjadi kegonjangan jiawa yang bisa meringankan perbuatan pidananya. Di sinilah hakim salah,” tegas Edi.

Oleh karena itu, kata Edi, pihaknya akan melaporkan majelis hakim kepada Bagian Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). “Kita minta MA dan KY memberik sanksi hakim-hakim yang tidak professional seperti ini,” kata dia.

Sementara Advokat Famara lainnya, Gabriel Marung mengatakan, kesalahan utama dari kasus ini adalah JPU yang menuntut pelaku dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP. Menurut Gabriel, seharusnya JPU menuntut pelaku dengan Pasal 338 KUHP dimana pelaku dituntut dengan tujuh tahun atau delapan tahun penjara, yakni setengah dari ancaman pidana pasal 338 KUHP yakni 15 tahun penjara. “Jaksa mengabaikan Pasal 338 KUHP. Di sini salahnya,” kata dia.

Jaksa dalam dakwaaannya, mendakwa terdakwa dengan pasal alternal yakni pasal 338 KUHP juncto pasal 351 ayat (3) KUHP. Pasal 338 KUHP ancaman maksimal 15 tahun penjara. Sedangkan pasal 351 ayat (3) ancaman maksimal tujuh tahun penjara.

Dalam UU Sistem Perlindungan Anak bahwa anak yang bermasalah hukum dihukum setengah dari ancaman maksimal pasal yang didakwakan kepadanya. Kalau hakim hakim menggunakan pasal 338 KUHP, maka pelaku pembunuhan Irnakulatas Murni dihukum 7,5 tahun penjara.

Menurut Edi Hardum, kalau majelis mengikuti tuntutan JPU seharusnya pelaku divonis 3,5 penjara yakni setengah dari tujuh tahun, bukan divonis dua tahun. “Di sinilah kami kecewa beratnya,” kata Edi.

Abaikan Asas Transparansi

Menurut Edi, majelis hakim ini selalu sidang perkara ini dijalankan mengatakan asas hukum acara pidana yakni asas transparansi. “Di mana kami sebagai kuasa hukum dari keluarga korban tidak diperkenankan mengikuti sidang sejak awal, sementara keluarga dari pelaku diperbolehkan. Ini tidak transparan dan tidak adil. Saya pun menduga lain dengan majelis hakim ini. Kami akan sampaikan dalam laporan kami,” kata pengajar ilmu hukum pidana di Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini.

Edi mengatakan, seharusnya selain keluarga pelaku, keluarga korban atau kuasanya juga diperbolehkan ikut dalam persidangan. “Saya menilai, kami dilarang supaya kami tahu cara hakim menanyakan para saksi dan pelaku. Ini benar-benar salah,” kata Edi.

Sebelumnya, JPU Donald Dwi Siswanto, menuntut majelis hakim agar pelaku dihukum empat tahun penjara. “JPU tak konsisten dengan dakwaannya kepada pelaku dengan pasal 338 juncto pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara. Kenapa tuntutan rendah sekali ?,” kata Edi Hardum. (*/aka)

Pos terkait