Ruteng, FokusNTT.com- Silvester Guntur dari dari Tim Pencegahan Paham Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme Densus 88 Satgaswil NTT mengaitkan, penyimpangan seksual dan radikalisme sebagai dua sisi dari krisis moral yang sama.
Hal itu disampaikan Silvester Guntur saat membawakan materi di SMPN 12 Satar Mese, Jumat (10/10/2025).
Kegiatan sosialisasi intoleransi, radikalisme, terorisme dan penyimpangan seksual di SMPN 12 dengan menggandeng Densus 88.
Silvester Guntur mengutip hasil penelitian BNPT dan UNICEF 2023 yang menunjukkan bahwa remaja dengan perilaku seksual berisiko tinggi memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam tindakan kekerasan dan intoleransi.
“Radikalisme dan penyimpangan seksual sama-sama dimulai dari lemahnya ketahanan diri. Kalau kalian tidak kuat secara spiritual, emosional, sosial, dan digital, maka siapa pun bisa memengaruhi kalian,” ungkap Silvester dengan tegas.
Ia kemudian menjabarkan empat pilar ketahanan remaja yaitu spiritual, emosional, sosial, dan digital.
“Kalau kalian punya iman yang kuat, hati yang tenang, dan teman yang baik, kalian tidak mudah dibujuk untuk membenci. Dan kalau bijak bermedia, kalian tidak akan mudah terjebak dalam hoaks dan konten ekstrem,” tambahnya.
Masih dalam pemaparannya, Silvester mengupas bagaimana ancaman ideologi ekstrem kini menyusup halus melalui dunia maya.
“Kalian mungkin pikir radikalisme itu hanya soal bom dan kekerasan. Padahal awalnya muncul dari hal sederhana, dari komentar kebencian, dari postingan yang menjelekkan orang lain, dari candaan yang merendahkan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa dunia digital adalah ruang terbuka tanpa batas yang bisa menjadi sarana penyebaran kebencian dan manipulasi psikologis.
“Sekali kalian buka ponsel, jutaan informasi masuk. Tapi tidak semua benar. Ada yang sengaja disusun untuk menanamkan kebencian, ada yang dibuat untuk menjebak,” katanya.
Silvester menyoroti peningkatan perilaku menyimpang di ruang digital seperti pornografi, sexting, grooming online, dan kekerasan seksual berbasis daring.
Berdasarkan laporan Kemen PPPA tahun 2024, kasus kekerasan seksual daring meningkat 28% dibanding tahun sebelumnya. Di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) saja, tercatat lebih dari 320 kasus kekerasan terhadap anak dan remaja sepanjang 2023–2024, sebagian besar berawal dari interaksi di media sosial.
Sementara itu, data Polri 2024 menunjukkan lebih dari 2.300 laporan judi online melibatkan remaja. Secara nasional, terdapat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak dan 480 kasus kekerasan digital pada tahun yang sama. Angka-angka ini, kata Silvester, menjadi alarm bagi semua pihak bahwa pencegahan tidak bisa lagi ditunda.
“Remaja yang kehilangan arah moral mudah dieksploitasi, baik oleh pelaku seksual maupun kelompok ekstrem. Polanya sama: mereka memanfaatkan kelemahan psikologis, rasa ingin diakui, dan kebutuhan akan kasih sayang,” ujarnya.
Menutup sesinya, Silvester menegaskan bahwa perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah dan aparat, tetapi juga keluarga dan masyarakat.
“Angka-angka ini bukan sekadar data. Di baliknya ada tangisan dan luka yang nyata. Karena itu, kita semua punya tanggung jawab melindungi kalian,” ujarnya.
Seorang siswa menanyakan, alasan mengapa sosialisasi intoleransi, radikalisme, terorisme dan penyimpangan seksual dilaksanakan hanya dilaksanakan di sekolah tersebut?
Silvester menjawab , “Yang pasti, sosialisasi ini dilakukan bukan karena ada teroris di sekolah kalian. Yang dilakukan hari ini adalah pembekalan terhadap kalian. Karena di mana pun kamu pergi, kamu akan berhadapan dengan internet yang berisi banyak informasi negatif. Semua orang rentan terpapar”.
“Kenapa di sekolah kalian? Sebenarnya bukan hanya di sekolah kalian saja, kegiatan seperti ini juga akan dilakukan di sekolah lainnya, bukan hanya di Satar Mese,” jelasnya.
Pertanyaan lain datang dari Rini. Dengan nada penasaran, ia bertanya, “Apa aspek-aspek yang membuat teroris meneror masyarakat?”
Dengan lugas dia menjawab, “Pertama, ada aspek ideologis, di mana mereka meyakini hanya pemahamannya yang benar. Jika ada orang yang tidak seideologi, maka dianggap kafir dan layak dibunuh. Kedua, aspek keadilan ekonomi. Mereka merasa hanya orang tertentu yang diuntungkan, sementara yang lain ditindas. Ketiga, aspek sosial, karena ada ketimpangan sosial yang menimbulkan rasa marah terhadap sistem dan masyarakat”.
Kepala SMPN 12 Satar Mese Marsianus Ngera menanggapi pertanyaan muridnya dengan mengatakan, “Kalau kamu bertanya pada saya kenapa pilih SMP 12, jawaban saya adalah karena saya mencintai kalian semua. Kami menyadari bahwa apa yang kami berikan kepada kalian tidak cukup, maka kami mengundang banyak pihak, contohnya soal terorisme, agar kalian mendapat bekal yang lebih kuat untuk masa depan”.
Silvester Guntur menutup materinya dengan pesan kuat: “Remaja tangguh bukan yang tidak pernah jatuh, tapi yang bisa bangkit dengan iman dan nilai yang benar. Kalian adalah masa depan bangsa. Jangan biarkan jari dan pikiran kalian dikendalikan oleh kebencian atau hawa nafsu! ”
Sosialisasi tersebut menampilkan sejumlah pemateri lain seperti Kapolsek Satar Mese Iptu Kiki Zakia Muhamad Baschoan, dan Pius Wanda dari DP2KB Kecamatan Satar Mese.
Editor: aka