Oleh: Marselinus Jeramum, SE
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Barat/ Ketua IKAWIMA 2022-2005
Kepemimpinan merupakan salah satu kunci utama dalam mencapai tujuan organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Leadership is the key to 99 percent of all successful efforts.
Kapasitas (kualitas & integritas) dari pemimpin dianggap sebagai faktor determinan dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi.
Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf Romawi pernah mengatakan bahwa Ikan busuk dimulai dari kepalanya.
Analogi ini hanya mau mengatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan sangat ditentukan oleh pemimpin.
Jika pemimpinnya busuk, maka seluruhnya akan menjadi busuk. Pun sebaliknya. Secara ringkas, John C. Maxwell mendefinisikan Pemimpin sebagai orang yang mengetahui, memutuskan dan menunjukan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.
Dalam konteks pemerintahan daerah, jarang sekali kita menemukan pemimpin seperti yang digambarkan oleh Maxwell tersebut.
Gubernur atau Bupati cendrung menganggap organisasi kepemerintahan sebagai organisasi milik pribadi, mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan orgaisasi dan menganggap bawahan sebagai alat semata.
Tantangan terberat kita saat ini adalah menemukan sosok pemimpin yang ideal, efektif dan adaptif dengan perubahan, memenuhi harapan publik serta peduli pada kebutuhan generasi milenial.
Agak sulit memang, tapi itulah realitas saat ini. Tugas kita semua adalah bisa menghadirkan Pemimpin- Pemimpin yang berkualitas, punya integritas serta menjadi teladan dalam semua urusan publik.
Catatan, hingga saat ini Indonesia belum berhasil membangun system yang baik untuk menghasilkan pemimpin dalam seluruh aspek kehidupan.
Saya diminta untuk menyampaikan materi tentang kepemimpinan daerah dari perspektif Servant Leadership versus Autocratic Leadership.
Tema ini sangat menarik dan actual, terutama dibicarakan jelang tahun politik. Karena itu, saya harus membatasi diri agar tidak terkesan sedang mengajak anda semua untuk berpolitik praktis seperti saya.
Satu point penting yang perlu digarisbawahi adalah semua daerah di Indonesia membutuhkan pemimpin yang baik, punya integritas dan bermanfaat bagi banyak orang.
Pemimpin yang hadir sebagai solusi bagi semua persoalan masyarakat.
Harapan tersebut diatas memang ibaratnya masih jauh panggang dari api. Sulit terealisir. Apalagi jika melihat pola perekrutan Pemimpin publik yang high cost.
Secara nyeleneh mantan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto mengatakan bahwa proses pemilihan Kepala Daerah di Indonesia sebenarnya untuk memilih Kepala Daerah Kapitalis.
Keluarkan banyak uang waktu proses dan setelah menang akan menggunakan segala cara untuk mengembalikan biaya politik tersebut.
Rakyat selalu menjadi korban. Banyak janji yang tidak ditunaikan.
Secara umum, kepemimpinan menggambarkan hubungan yang erat antara seseorang pemimpin dengan sekelompok manusia yang dipimpin karena adanya kepentingan bersama.
Kepemimpinan merupakan titik sentral dan dinamisator seluruh proses kegiatan organisasi.
Kepemimpinan mutlak diperlukan bila terjadi interaksi kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan organisasi.
Paul Hersey dan Ken Blanchard dalam teori “kepemimpinan siklus hidup” yang kemudian berganti nama menjadi teori “kepemimpinan situasional” (1969), mengemukakan bahwa esensi kepemimpinan adalah tercapainya tujuan melalui kerja sama kelompok.
Peranan kepemimpinan adalah memberikan dorongan terhadap bawahan untuk mengerjakan apa yang dikehendaki pemimpin.
Oleh karena itu, kepemimpinan secara umum didefinisikan sebagai suatu seni bagaimana membuat orang lain mengikuti serangkaian tindakan dalam mencapai tujuan.
Tujuan ini merefleksikan nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi yang diharapkan oleh pemimpin dan yang dipimpin.
Dari sekian banyak definisi kepemimpinan, satu diantaranya yang paling lugas dan sederhana adalah apa yang pernah dikemukakan John C. Maxwell dalam bukunya “The 21 Irreputable Laws Of Leadership” bahwa “Kepemimpinan itu adalah pengaruh, tidak lebih dan tidak kurang”.
Dari dua perspektif kepemimpinan yang hendak kita diskusikan hari ini, mana yang tepat untuk kita praktekkan. Apakah Kepemimpinan Pelayan atau Kepemimpinan Otokratis?
Secara ringkas, definisi kepemimpinan pelayan adalah suatu gaya kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati untuk melayani, menempatkan kebutuhan pengikut sebagai prioritas, menyelesaikan sesuatu bersama orang lain dan membantu orang lain dalam mencapai suatu tujuan bersama.
Sedangkan kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpinan yang memiliki kriteria atau ciri yang selalu menganggap organisasi sebagai milik pribadi, arogan, mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, menganggap bawahan sebagai alat semata, tidak mau menerima kritik dan saran, terlalu tergantung pada kekuasaan.
Dalam prakteknya di Indonesia saat ini, gaya kepemimpinan sangat ditentukan oleh proses.
Selama demokrasi di Indonesia masih terus diperhadapkan dengan berbagai persoalan serius terkait dengan pembiayaan politik yang sangat tinggi (hight cost politic), maka selama itu pula tipikal atau gaya kepemimpinan sulit untuk diterapkan.
Berbagai studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa politik uang dalam pilkada misalnya sangat berdampak sistemik terhadap kualitas pemimpin public yang dihasilkan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut hantaman politik transaksional itu bukan hanya merusak sendi-sendi demokrasi, tapi juga menjadi cikal bakal terjadinya korupsi politik dalam pemerintahan.
Secara konseptual, politik uang yang terjadi secara massif dan sistematis dalam konstetasi di tingkat local tersebut, membentuk hubungan “simbiosis mutualisme” yang berbahaya bagi proses demokrasi dan pemerintahan lokal.
Secara umum biaya-biaya yang secara legal dibutuhkan dalam proses (tahapan) Pilkada biasanya disebut sebagai ongkos politik.
Untuk membiayai proses politik yang mahal tersebut, biasanya para kontestan politik mengharapkan donasi dari donator poltik yang acapkali merupakan para kontraktor, yang memiliki kepentingan bisnis di daerah.
Namun demikian, biaya-biaya politik yang bersifat illegal yang merupakan politik uang (money politic), nilainya bisa jauh lebih besar dari pada biaya-biaya legal yang disebutkan di atas.
Biaya illegal tersebut mencakup sejumlah uang yang harus disiapkan pasangan calon untuk mendapatkan rekomendasi sebagai peserta pilkada dari partai politik (“mahar politik”) serta biaya yang dikeluarkan untuk mempengaruhi masa pemilih (serangan fajar).
Sejatinya politik uang adalah ranjau yang harus dihindari dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, termasuk dalam upaya mencari pemimpin yang ideal.
Para calon pemimpin rakyat yang berkompetisi harus dipaksa untuk mengedepankan kontestasi program, kinerja dan rekam jejak individu, sehingga para pemilih bisa mendapatkan pemimpin terbaik.
Lembaga yang menjadi wadah rekrutmen calon pemimpin harus membuat sistem rekrutmen yang transparan dan akuntabel sehingga jauh dari proses money politic.
Lagi-lagi, kita butuh pemimpin public yang berkualitas.
Baik-buruknya suatu kepemimpinan akan membawa pengaruh dalam segala segi kehidupan organisasi yang dipimpinnya.
Merujuk pada pendapat Maxwell, setidaknya terdapat 3 substansi kepemimpinan yang perlu dipelajari dan ditumbuhkan agar dapat menjadi sosok pemimpin yang ideal dan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Ketiga esensi penting dari kepemimpinan tersebut adalah:
1. Pengaruh
Point penting pertama dari kepemimpinan adalah Pengaruh. Seorang pemimpin seharusnya dapat membawa pengaruh yang positif bagi mereka yang dipimpinnya.
Sebuah organisasi akan berjalan dengan maksimal dan baik dalam rangka mewujudkan visi jika mendapat pengaruh positif yang kuat dari seorang pemimpin.
Pengaruh positif yang kuat ini akan menciptakan atmosfir yang kondusif bagi pertumbuhan dan kemajuan organisasi.
Pengaruh pemimpin yang positif ibarat air kehidupan bagi mereka yang dipimpinnya.
Pengaruh positif yang kuat ini lahir dari integritas. Dari integritas lahir keteladanan dan wibawa sebagaimana pernah Sun Tzu nyatakan, “Pemimpin memimpin dengan teladan bukan dengan kekerasan”.
Pemerintahan yang bersih dan berwibawa lahir dari pemimpin yang berintegritas serta memancarkan keteladanan sehingga pengaruh positifnya sangat kuat melingkupi seluruh organisasi yang ia pimpin.
Jika merujuk pada definisi dua gaya kepemimpinan di atas, kepemimpinan pelayan lebih tepat untuk bisa memberikan pengaruh positif bagi public.
2. Pemberdayaan
Point kedua dari kepemimpinan adalah pemberdayaan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menggali seluruh potensi yang ada dalam organisasi yang ia pimpin.
Pemimpin akan memaksimalkan segala potensi yang ada, terutama pemberdayaan SDM, demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Pemberdayaan SDM memiliki peranan yang strategis dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi.
Dalam arti luas, pemberdayaan SDM secara substansi dipahami sebagai proses peningkatan potensi, kompetensi, dan karir dari pegawai.
Sebagai sumber daya, tak jarang para pegawai menghadapi kendala ataupun hambatan di dalam melaksanakan tugas sehari-hari sehingga tidak dapat memenuhi ekspektasi dan tuntutan organisasi.
Dalam situasi seperti itu, diperlakukan intervensi yang dimaksudkan untuk memampukan dan memberdayakan para pegawai agar dapat memunculkan potensi yang mereka miliki hingga bisa memaksimalkan kinerja mereka dalam bekerja.
Diperlukan ketajaman dan kejelian dalam melihat segala potensi yang dimiliki yang ada dalam wilayah kepemimpinannya.
Maxwell mengungkapkan bahwa “The best leaders are humble enough to realize their victories depend upon their people”.
Para pemimpin yang baik memiliki sifat rendah hati untuk menyadari bahwa kemenangan-kemenangan mereka bergantung pada pencapaian orang-orang yang dipimpinnya.
Organisasi yang ia pimpin dapat maju dikarenakan memberdayakan semua sumber-sumber daya yang ada terutama sumber-sumber daya manusia, bukan justru memanfaatkan mereka yang ia pimpin demi keuntungan pribadi.
Dalam hal ini coaching, mentoring dan counseling mestinya menjadi perilaku kepemimpinan yang ditunjukkan sehari-hari di dunia kerja.
3. Pelayanan/Pengabdian
Esensi ketiga dari kepemimpinan adalah pelayanan/pengabdian. Pemimpin yang baik adalah mereka yang justru melayani, bukan untuk dilayani.
Pelayanan dan kepemimpinan sepertinya adalah dua hal yang sangat bertolak belakang.
Bagaimana mungkin melayani tapi juga memimpin? Bukankah pemimpin itu justru adalah harus dihormati, dilayani, disanjung?.
Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang memiliki jiwa besar untuk bersedia merendahkan diri melayani mereka yang ia pimpin dengan penuh pengabdian.
Fokusnya hanyalah bagaimana mensejahterakan, mengantarkan segala kebaikan bagi mereka yang ia pimpin.
Jiwa pelayanan atau pengabdian ini akan mengibarkan seorang pemimpin menjadi pemimpin yang besar dan bermartabat.
Di lingkungan birokrasi sering terjadi kerancuan atau mencampuradukkan antara istilah pemimpin dengan pimpinan.
Banyak orang menyebut pemimpin itu adalah orang yang memiliki jabatan atau kedudukan. Padahal dua hal ini adalah sesuatu yang berbeda.
Kepemimpinan tidaklah sama dengan kedudukan atau jabatan. Pemimpin (leader) adalah orang yang menjalankan kepemimpinan (leadership), sedangkan istilah pimpinan merujuk kepada kedudukan seseorang pada hirarki tertentu pada suatu organisasi.
Maxwell menyebutkan bahwa pemimpin yang baik selalu membuat sesuatu terjadi. Mereka memberikan hasil kerja. Sebaliknya, pemimpin yang tidak kompeten hanya peduli pada posisi jabatan sehingga cenderung memainkan politik dari pada menghargai bawahan/pengikutnya dan menjalankan peran kepemimpinannya.
Padahal bawahan yang baik sekali pun tidak dapat mentolerir pemimpin yang buruk. Seringkali hal ini akan berujung pada ketidakpuasan di tempat kerja.
Seorang pemimpin harus memiliki gambaran yang jelas tentang kekuatan dan kelemahan setiap orang yang dipimpin dan memahami bagaimana mereka sesuai dengan kebutuhan tim.
“A leader must have a clear picture of each person’s strengths and weaknesses and understand how they fit the needs of the team”, kata Maxwell.
Tentukan nilai-nilai yang penting dan terapkan nilai-nilai itu bersama bawahan. Beri apresiasi kepada bawahan yang menunjukkan kontribusi.
Dari dua gaya kepemimpinan tersebut diatas, yang paling banyak dijumpai didalam birokrasi pemerintahan adalah gaya otokratis.
Gaya otokratis merupakan gaya yang mengadopsi pada bakat/karakter seseorang yang dibawa didalam kepemimpinannya.
Otokratis ini merupakan sentralistik dan pemusatan kekuasaan pada satu orang saja.
Dalam gaya otokrasi seorang pemimpin merupakan tokoh yang memberikan banyak pengaruh pada pengikutnya.
Pengaruh itu menjadikan sang pemimpin ditakuti, diikuti dan membuat orang lain tunduk pada sang pemimpin.
Selain itu, kepemimpinan gaya otokrasi menjadikan orang lain tergantung pada apa yang dimilikinya, tanpa itu orang lain tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Hubungan ini akan berpotensi menjadikan hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme, dimana kedua belah pihak merasa saling diuntungkan.
Dalam kepemimpinannya, seorang pemimpin yang bergaya otokrasi memiliki wewenang yang dianggap tanpa batas.
Wewenang disini dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada pemimpin untuk menetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu hal/ kebijakan baik itu keputusan yang bersifat memberikan solusi maupun berpotensi merugikan kepentingan bawahannya / organisasi.
Menjadi pemimpin “zaman now” sangat berbeda dengan memimpin pada era tahun 1970 -2000 an.
Seorang pemimpin tidak hanya menggunakan otoritas (power) yang dimiliki, tetapi juga menggunakan pengaruh untuk menggerakkan orang lain.
Dalam menjalankan perannya, seorang pemimpin akan berhadapan dengan segala macam karakter, perilaku dan tingkat kematangan kepribadian bawahannya.
Kepemimpinan yang melayani (servant leadership) merupakan suatu tipe atau model kepemimpinan yang dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh suatu masyarakat atau bangsa.
Para pemimpin-pelayan (servant leader) mempunyai kecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas dirinya.
Orientasinya adalah untuk melayani, cara pandangnya holistik dan beroperasi dengan standar moral spiritual.