Oleh: Muhamad Andryansah*)
Di atas kertas, Kabupaten Manggarai mencatat kemajuan yang menggembirakan. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manggarai, dihasilkan angka kemiskinan menurun menjadi 18,10 persen pada tahun 2025, lebih baik dibanding satu dekade lalu.
Namun di balik deretan angka itu, masih tersimpan kenyataan lain bahwa sebagian warga Manggarai belum benar-benar terbebas dari jerat hidup yang serba kekurangan.
Bagi banyak keluarga di wilayah ini, kemiskinan bukan sekadar tentang pendapatan. Ia hadir dalam bentuk rumah sempit tanpa sanitasi layak, anak-anak yang berhenti sekolah lebih awal, atau ibu yang harus berjalan jauh untuk mencari air bersih. “Kalau ada sekolah dekat dan anak tidak perlu bantu di ladang, saya ingin mereka lanjut belajar,” kata seorang ibu di salah satu desa, Kabupaten Manggarai ketika petugas BPS mewawancarainya untuk keperluan survei. Kalimat sederhana itu mengingatkan bahwa statistik selalu punya wajah manusia di baliknya.
Kemiskinan yang Tak Sekadar Soal Uang
Berdasarkan data yang BPS selama 2010–2024, kemiskinan di Manggarai menurun secara moneter, tetapi tidak semua aspek kehidupan ikut membaik.
Pada tahun 2024, lebih dari 33 persen rumah tangga masih belum memiliki sanitasi layak, dan sekitar 4 persen belum menikmati air minum yang memenuhi standar.
Di sisi lain, rata-rata lama sekolah baru mencapai 7,9 tahun, artinya sebagian besar warga di sini hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 8 SMP saja.
Situasi ini menegaskan bahwa kemiskinan di Manggarai bersifat multidimensi yang tak hanya soal pengeluaran, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup. Analisis data menunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan menjadi dua faktor paling menentukan. Indikator angka melek huruf (AMH) dan harapan lama sekolah (HLS) terbukti paling berpengaruh terhadap turunnya tingkat kemiskinan moneter. Artinya, setiap tambahan tahun pendidikan atau peningkatan literasi bisa membuka jalan keluar dari kemiskinan.
Daya Hidup yang Tumbuh, Tantangan yang Belum Luruh
Beberapa kemajuan patut diapresiasi. Akses listrik di Manggarai hingga tahun 2024 menjangkau lebih dari 92 persen rumah tangga, dan angka harapan hidup meningkat menjadi 72,4 tahun. Persalinan oleh tenaga kesehatan bahkan telah mencapai hampir 94 persen, menandakan layanan kesehatan makin merata.
Namun, perbaikan itu belum cukup menghapus kerentanan. Tingkat pengangguran terbuka masih fluktuatif, dan banyak pekerja informal menerima upah di bawah Rp1,2 juta per bulan, jauh dari UMR Kabupaten sebesar Rp2,18 juta, bahkan ada seorang ibu yang bekerja penuh waktu sebagai pegawai layanan jasa titip (jastip) akan tetapi hanya diberikan upah Rp.400.000 per bulan. Di sisi lain, data pengeluaran belanja bantuan sosial pemerintah daerah menunjukkan adanya peningkatan, dari Rp4,5 miliar pada 2023 menjadi Rp6 miliar pada 2024, tetapi dampaknya belum sepenuhnya terasa di akar rumput.
Banyak program bantuan belum menyentuh aspek pemberdayaan yang bisa mengubah nasib keluarga miskin secara berkelanjutan.
Ketika Data Menjadi Cermin Nurani
Data bukan hanya sekumpulan angka. Setiap titik dan persentase yang muncul dalam laporan statistik adalah potret nyata perjuangan warga tentang bagaimana mereka bertahan, berjuang, dan berharap.
Melalui pendekatan analisis Principal Component Regression (PCR), hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan memiliki pengaruh paling kuat terhadap penurunan kemiskinan. Semakin tinggi tingkat literasi pendidikan dan akses terhadap layanan kesehatan, semakin rendah risiko kemiskinan.
Karena itu, upaya pengentasan kemiskinan tidak cukup dengan bantuan tunai atau proyek infrastruktur. Yang lebih dibutuhkan adalah investasi jangka panjang dalam pendidikan, gizi anak, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Menuju Manggarai Maju lebih Cepat yang Berdaya
Manggarai punya potensi besar, alam yang subur, masyarakat yang pekerja keras, dan generasi muda yang haus belajar. Lebih dari 60 % penduduk Manggarai berada dalam usia produktif, usia di mana mereka bisa bekerja keras, mencipta dan berinovasi.
Selain itu, kini sekitar 2 persen dari warga Manggarai sudah tamat perguruan tinggi, angka yang belum besar, tapi menunjukkan bahwa gelombang generasi muda yang haus belajar mulai muncul.
Diperlukan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kualitas manusia yang tidak hanya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga menghadirkan perubahan nyata bagi setiap keluarga.
Dengan langkah seperti itu, Manggarai akan tumbuh menjadi kabupaten yang berdaya dan bermartabat.
Karena pada akhirnya, kemiskinan bukan hanya urusan statistik. Ia adalah soal keadilan, kesempatan, dan harapan. Dan tugas kita baik sebagai penyedia data, pengambil kebijakan maupun warga bangsa, adalah memastikan setiap angka yang menurun berarti kehidupan yang benar-benar membaik, terkhusus di Kabupaten Manggarai.
Sesuai julukan wilayah ini yaitu Bumi Nuca Lale yang memiliki arti mendalam juga harapan. Nuca bermakna daratan pulau dan Lale adalah jenis pohon yang melambangkan kesuburan, maka kita yakini kesejahteraan akan subur tumbuh berkembang di tanah ini pada masa mendatang.***
Penulis adalah Statisi Pratama BPS kabupaten Manggarai.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.