Rokok Ilegal Merek Humer Beredar Bebas di Flores, Jaringan Distribusinya Diduga Seperti ini:

Ruteng, FokusNTT.com- Rokok ilegal atau tanpa pita cukai resmi dari bea cukai yang bermerk Humer laris manis di Pulau Flores bagian Barat.

Penikmat di Flores Bagian Barat mulai dari Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada dan Kabupaten Nagekeo sudah begitu akrab dengan rokok ilegal tersebut.

Bacaan Lainnya

Mengutip media Suluh Timur, rokok ilegal bermerk Humer telah menguasai jaringan pasar sejak beberapa tahun terakhir, dan diduga distributornya adalah pedagang lokal.

Berdasarkan penelusuran media tersebut, rokok ilegal tersebut dijual bebas alias terbuka oleh kios di seluruh pelosok mulai dari kios kecil di Ndoso hingga ke warung terpencil di Manggarai Timur.

“Kalau jual Humer, laris e kae (kak). Murah, banyak orang yang suka,” ujar seorang pedagang di Manggarai, menggambarkan bagaimana masyarakat sudah denga rokok ilegal itu.

Harga yang jauh lebih murah dibanding rokok bercukai membuat Humer mudah menembus pasar pedesaan.

Informasi yang diperoleh menyebutkan, rantai distribusi rokok ilegal tersebut melibatkan banyak tangan, dari pabrik-pabrik rumahan di Madura hingga ke pelosok Flores.

Dari Pamekasan ke Flores

Pulau Madura, terutama wilayah Pamekasan dan Sumenep, telah lama dikenal sebagai episentrum industri rokok ilegal di Indonesia. Di rumah-rumah sederhana, mesin pelinting bekerja siang dan malam.

Dari sanalah muncul berbagai merek yang tak tercatat secara resmi di Kementerian Keuangan, seperti Humer, Luffman dan Gudang Baru.

Laporan Radar Madura (2019) dan Kompas (2020) menyebut bahwa pabrik-pabrik ini tidak berdiri sendiri. Mereka tumbuh dengan “perlindungan” tokoh politik dan pengusaha lokal yang memiliki koneksi ke aparat.

“Sejak lama, pabrik-pabrik ini hidup dari sistem perlindungan. Bukan hanya karena lemahnya pengawasan, tapi karena ada kepentingan politik dan ekonomi yang saling menopang,” tulis Kompas dalam laporannya.

Dari Madura, rokok Humer menyeberang ke Flores melalui jalur laut. Masih berdasarkan hasil penelusuran Suluh Timur, pengiriman dilakukan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Pelabuhan Wae Kelambu, Labuan Bajo, yang menjadi pintu utama distribusi.

Seorang sopir ekspedisi yang melayani Tanjung Perak- Wae Kelambu Labuan Bajo yang minta namanya dirahasiakan mengungkapkan, setiap truk bisa memuat 50 hingga 100 dos rokok Humer sekali kirim. Adapun Slsatu dos berisi 80 slop, dan satu slop berisi 10 bungkus.

“Kami biasa muat rokok Humer dari Surabaya kae. Biar aman, biasanya kami campur dengan barang lain. Satu bulan bisa tiga kali kae,” ujarnya.

Ia menambahkan, bukan hanya kendaraan perusahaannya yang membawa muatan itu. “Banyak ekspedisi lain juga Yang ikut muat kae, bukan hanya kami,” ungkapnya.

Setibanya di Labuan Bajo, muatan dibongkar, lalu didistribusikan ke berbagai wilayah seperti, Terang, Tentang, Ruteng, Anam, Borong, Bajawa, hingga Nagekeo. Rantai distribusi berjalan nyaris tanpa hambatan, seolah menjadi bagian dari arus niaga resmi.

Banyak Pemain, Jaringan Terpusat

Peredaran rokok merek Humer di Flores ternyata tidak dikendalikan oleh aktor tunggal. Sistemnya bercabang dan terpusat.

Tiap wilayah memiliki “penghubung” atau broker lokal yang menjadi simpul antara distributor besar di Jawa dan pedagang kecil di Flores.

Seorang mantan sales rokok ilegal mengungkapkan “Untuk rokok merek Humer, pemainnya ada banyak, ada om Flori di Tentang, ada om Yos di daerah Anam, trus Kerabun di Terang,” mengutip Suluh Timur.

Investigasi lapangan mengungkapkan bahwa ketiga nama itu kerap disebut oleh sumber-sumber berbeda.

Flori, pemilik toko di Kecamatan Ndoso, Manggarai Barat, menjual rokok merek Humer secara terbuka dengan harga Rp15.000 per bungkus, Rp120.000 per slop, dan Rp1,2 juta per bal.

Yos di Anam, Manggarai, diduga mengendalikan jaringan penjualan di wilayah manggarai tengah, meski gudang besar belum ditemukan.

Sementara Kerabun di Terang, diduga memegang kendali distribusi menuju pulau-pulau kecil sekitar Manggarai Barat.

Selain ketiga nama tersebut muncul juga nama Febri di Ruteng. Ia disebut menjadi penghubung antara distributor di Madura dan pengecer di seputaran kota ruteng dan beberapa wilayah di Manggarai Timur.

Selain itu, di Labuan Bajo muncul dua titik distribusi besar: Toko M, yang berada di depan kompleks SMA Katolik Labuan Bajo, dan Toko I, di Jalan Soekarno-Hatta Bawah.

“Kalau di Labuan Bajo pusatnya di Toko M dan Toko I kae,” ujar sumber yang akrab dengan jaringan tersebut.

Tim Suluh Timur mendatangi kedua toko pada 28 September 2025. Di Toko M, seorang pelayan mengaku stok Humer sedang habis. “Rokok Humer habis, om,” kata pelayan toko M singkat.

Sementara di Toko I, pelayan membantah menjual Humer. “Kami tidak jual rokok itu, om,” ujarnya.

Namun fakta di lapangan berkata lain. Di toko milik Flori di Ndoso, Suluh Timur mendapati penjualan rokok Humer dilakukan secara terbuka. Setiap pembeli bisa dengan mudah mendapatkannya tanpa rasa khawatir.

Di wilayah Anam, meski gudang besar tak ditemukan, hampir setiap kios kecil dari Ruteng hingga Rahong Utara menjual Humer.

Upaya konfirmasi terhadap Flori, Yos, Febri, dan Kerabun telah dilakukan melalui pesan WhatsApp dan panggilan telepon. Hanya Flori yang sempat menjawab panggilan, namun menolak diwawancarai karena alasan keluarga. Ia berjanji akan menghubungi kembali, tetapi hingga berita ini terbit, janji itu belum ditepati.

Istri Febri, yang sempat menjawab panggilan, mengatakan bahwa suaminya sedang keluar. Namun hingga kini, ia pun tak memberikan tanggapan lebih lanjut.

Kompromi dan Setoran

Meski aparat gabungan sesekali melakukan razia, peredaran rokok merek Humer tetap hidup. Sumber internal jaringan menyebut ada kompromi antara pelaku dan oknum aparat.

“Mereka setor ke Bea Cukai kae,” ujar seorang sumber yang akrab dengan para distributor.

Isu setoran semacam ini bukan hal baru. Pada 2023, CNN Indonesia dan Tempo melaporkan dugaan keterlibatan oknum Bea Cukai dalam melindungi peredaran rokok ilegal di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Di Flores, isu serupa muncul kembali pada awal Juni 2025. Media lokal Publikata.com menulis tentang dugaan adanya “main mata” antara pelaku dan oknum aparat di Kantor Bea Cukai Labuan Bajo.

Dalam wawancara dengan media tersebut (3 Juni 2025), Ahmad Faisol, Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan KPPBC Labuan Bajo, menegaskan, “Kami terbuka kepada masyarakat dan media. Kalau ada bukti, contoh foto, akan segera kami tindak lanjuti. Tapi kalau hanya ‘katanya’, itu bisa jadi alibi”.

Meski demikian, penindakan di lapangan selalu berhenti di level pedagang kecil. Tak ada penangkapan besar terhadap aktor distribusi maupun pemodal utama.

Di banyak tempat seperti Pulau Mesa, Papagarang, Lembor, Kuwus, Ruteng, Boawae, hingga Nagekeo, rokok Humer tanpa pita cukai dijual bebas, bahkan bersamaan dengan menjual rokok bercukai legal di etalase kios. Bahkan di Waemata, Lancang dan Kaper, Labuan Bajo —tempat dimana Bea Cukai Berkantor— wartawan menemukan rokok itu masih dijual secara terbuka pada awal Oktober 2025.

Kerugian Negara dan Simbol Kebocoran

Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat bahwa pada 2024, lebih dari 400 juta batang rokok ilegal disita di seluruh Indonesia.

Kementerian Keuangan memperkirakan kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal mencapai Rp7,7 triliun per tahun. (*/aka)

Pos terkait