Manggarai, FN – Pemerintah Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Status KLB ini ditetapkan sejak tanggal 8 Juni 2023 lalu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai dan ditandatangani oleh Bupati Heribertus Geradus Laju Nabit.
Meski demikian, sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Manggarai belum mencabut status KLB itu dengan jangka waktu tertentu. Sebab, kasus GHPR masih cukup memprihatinkan belakangan ini.
Kepala Bidang Program Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Gabriel Amir mengatakan, peningkatan kasus GHPR di Manggarai jadi salah satu alasan pemerintah belum mencabut status KLB.
Menurut Amir, sesuai laporan dari Center Fasilitas Kesehatan (Puskesmas dan RS) bahwa kasus GHPR masih tinggi.
Pada tahun 2023 lalu, sebut Amir, telah terjadi 1.777 kasus gigitan yang menyebabkan tiga orang warga meninggal dunia.
Tiga warga yang meninggal itu berasal dari Satarmese Utara, Satarmese Barat dan Reok Barat.
Kemudian distribusi kasus gigitan berdasarkan hewan penggigit lebih banyak bersumber dari gigitan anjing dibanding hewan penular rabies lainnya, seperti kucing dan monyet
“Distribusi kasus gigitan sepanjang Januari sampai Desember 2023 tercatat 1691 bersumber dari anjing, sedangkan kucing hanya 83 dan monyet hanya 3” jelas Amir dijumpai Selasa (27/2/2024).
Sementara untuk tahun 2024, tambah dia, kasus GHPR ada di angka 124 dan belum ada korban jiwa. Saat ini pihaknya telah menyediakan VAR dan SAR pada fasilitas rantai dingin (cold chain) di center fasilitas kesehatan untuk menekan angka GHPR itu.
Lebih lanjut Putra asli Loce Kecamatan Reok Barat ini mengatakan, selain karena kasus GHPR masih tinggi, salah satu alasan pemerintah belum mencabut KLB karena berdasarkan gambaran epidemiologi penyebab HPR, sumber infeksi dan distribusi penderita.
Tiga hal tersebut masih menjadi perhatian Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai untuk menekan jumlah HPR.
Karena itu, kata Amir, tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, yakni menetapkan SK Dinkes dan tim reaksi cepat (TRC) rabies di setiap Puskesmas.
Tak hanya itu, katanya lagi, pemberian VAR dan SAR sesuai indikasi juga menjadi perhatian serius Dinas Kesehatan.
Berikutnya lagi, masih Amir, ada tindakan monitoring dan pemantauan distribusi VAR dan SAR juga tempat penyimpanannya (cold chain).
Setelah itu pihak Dinas Kesehatan juga akan melakukan PE dan Surveilans (Permenkes no.45 tahun 2014) pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi, mengetahui besaran masalah dan penyakit di suatu wilayah, monitor trand/kencenderungan rabies di suatu wilayah dan penggunaan VAR.
Tak berhenti disitu, demi menekan angka GHPR ini pihaknya juga menentukan status wilayah dan indentifikasi wilayah resiko tinggi terhadap rabies. Hal ini merupakan bagian dari PE.
“Langkah-langkah PE yang kami jalankan tentu dengan memastikan diagnosis penyakit, menentukan faktor resiko, mengetahui penyebab dan sumber penyebab untuk mencegah perluasan, menentukan cara penanggulangan serta mendapatkan gambaran kasus rabies dan kematian akibat rabies secara epidemiologi” tutup mantan Kepala Sub Bagian di Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah itu.
Penulis: Albertus Frederiko Davids